: mengapa ia tak lagi menari-nari di bibirmu menjadi kata-kata indah?
aku menjawabinya seraya tertawa
: kawan, mungkin cinta bukan lagi angin yang menyusuri lembah
tapi terompah di kakimu yang terlanjur menjadi sangat biasa
kawan, tahukah engkau?
belum sirna dari ingatan peziarah
bagaimana pucuk-pucuk ilalang di sukmanya memainkan stanza
saat bayu dari punggung bukit turun mengepakkan sayap-sayap cinta
jika langit bisa bicara melalui mimpi
maka bidadari bisa memelukku via memori
menjadi silhuet yang menari saat sepi menggari
menjadi lentera yang pijar saat gelap membikin gentar
menemani perjalanan di titik-titik penghabisan
menghangati altar di mana Sang Maha Cinta kuagungkan
oh, akankah langit bisa tertawa?
akankah bidadari kembali bisa kusua?
saat engkau bertanya tentang cinta
kawan, terompahku bukan terompah biasa
Sidoarjo, 22-11-2012