by Nyong ETIS

BERANDA   -    BILIK BACA   -    RUANG ISTIRAH   -    TELAGA SUNYI   -    NEGERI DI ATAS AWAN

Biar Kuselami Kedalamanmu

Dua ekor serigala jantan tampak duduk-duduk santai di tepian sebuah telaga.
”Yan, kalo boleh tahu, apa menariknya sih telaga ini? Tiap kali kau mengajakku, seolah hanya tempat ini satu-satunya pilihan terbaikmu.”
Yanto menyunggingkan senyum tipis di bibirnya.

”Sebelumnya aku minta maaf Bur, tapi sekaligus trims berat, meski tampaknya kamu sudah mulai bosan tapi masih juga mau menemaniku menghabiskan waktu di tempat ini.”
Burhan menepuk-nepuk pundak sohib karibnya itu. Seakan ia hendak meyakinkan bahwa pada momen-momen semacam inilah seorang kawan memang seharusnya hadir.
”Kautahu Bur, bertahan hidup di belantara liar ini resikonya kalo tidak mati ya luka-luka. Dan ketika rasa sakit dan perih itu menjadi tak tertahankan, wajar jika kita mencari tempat dimana semua bisa kembali tawar dan disembuhkan. Nah, bagiku, telaga inilah tempatnya.”
”Mengapa tak kausembuhkan saja kepedihanmu itu di rumah? Kan ada saudaramu yg siap membantu.”
Yanto tertawa kecil mendengar ujar Burhan. Dua taring tajam sejurus menyembul dari sisi-sisi mulutnya. Sebuah seringai khas binatang pemangsa.

”Bur, Bur. Mereka itu manusia, bukan serigala. Jadi, saat kaki ini menginjak pelataran rumah, ujudku harus sudah berubah menjadi manusia. Segala persoalan dunia binatang sementara waktu harus ditutup-bukukan. Selanjutnya, hanya persoalan dunia manusia yg boleh diperbincangkan, dengan perilaku dan tutur kata yg tentu menurut adat manusia pula. Pokoknya serba santun dan baik-baiklah.”
”Memangnya apa yg bisa dilakukan telaga ini untukmu?”
”Ketahuilah Bur, di sinilah aku bisa menemukan ’rumah lain’ itu. Tempat dimana bisa kutumpahkan segala serapah dan caci-maki atas kemunafikan para binatang dan kehidupan jahannamnya. Tempat dimana aku tak perlu merubah diriku menjadi bukan diriku. Tempat dimana aku diterima apa adanya. Tempat dimana aku dikenali dan dipahami sejak awal sebagaimana adanya aku. Seekor binatang jalang.” Sejenak Yanto menghela nafas dalam-dalam. Sementara Burhan diam manggut-manggut menunggu kelanjutan kata-kata binatang jelek di sampingnya itu.


”Lihatlah Bur, betapa tenangnya telaga ini. Dengan duduk di tepiannya saja, semua keriuhan hidup dan kerumitan persoalannya mendadak jadi leram. Saksikan juga Bur, betapa jernihnya telaga ini. Dengan mencecap setetes airnya saja, semua luka-luka sontak menjadi sirna. 


Tahukah kau Bur? Sejujurnya, tiap kali berada di tempat ini, kilau telaga itu hampir-hampir selalu membuatku tak sanggup menahan diri. Ingin rasanya aku lompat menceburkan diri di kedalamannya. Menyatu dengannya. Tapi saat keinginan itu muncul, sebuah kekhawatiran mencegahku tuk melakukannya. Bisa kaubayangkan Bur, keindahan itu pasti akan ternodai saat binatang terkutuk macam aku ini tenggelam di dasarnya kan? Untungnya lagi, buaya penunggu itu juga sudah memasang papan larangan bagi binatang apa saja untuk berenang di tempat ini. 

Intinya Bur, aku merasa senantiasa menemukan cinta tiap kali berada di dekatnya. Cinta yg apa adanya. Tak dibuat-buat. Tulus Bur.”

”Hmm, begitu ya.”
Burhan mengernyitkan dahinya. Entah apa yang tengah bermain di benaknya saat ini. Tapi sepertinya ia masih juga belum bisa mengerti benar apa maksud sebenarnya Yanto. Sama halnya ia juga belum bisa memahami benar, mengapa selalu saja ia mengiyakan tiap kali diajak Yanto mengunjungi tempat ini.

Tanpa sepengetahuan dua serigala tersebut, seekor merpati putih sedari tadi menguping pembicaraan mereka dari rerimbunan daun bersemu ungu pohon Manecu. Merpati itu dalam batinnya berkomentar,
”Dasar binatang! Cari ketenangan kok plesir ke pinggiran telaga. Mbok perbanyak dzikir sana!”
Dan tanpa sepengetahuan si merpati putih, genderuwo hitam asli Jawa, penunggu pohon Manecu, jadi terpancing ikut komentar,
”Dzikir iku opo mung komat-kamit lambemu thok? Bah sampek muru-muru, yen atimu picek ra iso ngujo howo, ra iso moco padhange howo, podo ae wan-kewan!”
Ulat bulu yg tengah bertapa dalam kepompong mendengar gerutuan itu tersenyum kecut,
"Masalah gitu aja kok dipikirin. Repot amat!"