Setangkai anggrek terbaring di atas meja. Menemani sebuah laptop tua yang dengan setia mengikuti setiap isyarat yang diminta oleh tuannya. Tertulis di layar itu:
"Uru Anna, aku mencintaimu. Kaukehendaki atau tidak. Kauharapkan atau tidak. Aku berterima kasih atas perkenanmu mendengarkan celotehku tentang itu. Sungguh, inilah anugerah terbesar yang pernah kutemukan dalam hidupku. Maka siapalah aku ini, jika terlampau sombong untuk tak mengakuinya. Sementara tiada keindahan yang bisa kusyukuri dari kehidupan ini sebelum hatiku terpapar olehnya.""Uru Anna, entah, akan kauhakimi aku sebagai apa. Jahannam dunia, keparat tak tahu diri, atau apa terserah, aku pasrah. Sebab kutahu, apapun yang akan kaukatakan tentangku takkan sanggup mengubah kenyataan, bahwa aku memang mencintaimu.""Uru Anna, terima kasih. Kauantar aku untuk mengenalnya: cinta. Cahaya yang telah membuatku bertahan hidup. Berani memperjuangkan hidup. Dan berharap akan menemukan kebermaknaan hidup.""Uru Anna, tak sekalipun aku menyesali lagi detik-detik kehidupan yang kujalani ini sejak cinta itu merenggutku. Terima kasih. Kauubah aku menjadi manusia. Kauubah aku menjadi lelaki. Kauubah aku menjadi pemuja setia Sang Maha Indah.""Uru Anna, kepada siapapun hatimu itu kaurelakan nantinya, ketahuilah, ada seorang lelaki yang selalu saja memunajatkan doa dalam sujud-sujudnya: Duhai Sang Maha Cinta, limpahkanlah keindahan dan kebahagiaan cinta dalam hidup Uru Anna."