“Terlampau indah ‘tuk dilukiskan dengan kata-kata. Perjumpaan ini adalah pentahbisan cinta. Saat dua jiwa akhirnya bisa kembali bertatap muka. Berendam dalam kehangatan yang sempat hilang. Meski tak lama, hanya lima ketukan jari kumenghitungnya. Tapi itupun cukuplah sudah. Setidaknya untuk saat ini. Mengingat para penyaksi turut hadir di sana mengkidungkan gairah.”
”Bagaimana aku mampu mengutarakannya? Bagaimana aku mampu menjelaskannya? Bukankah hal ini memang bukan untuk diungkapkan? Bukankah hal ini memang bukan untuk dibicarakan? Setidaknya untuk saat ini. Mengingat penyingkapannya di luar mimpi dan imajinasi, hanya akan melukai jiwa-jiwa lain yang patut dikasihi. Lagi pula, otoritas mana yang berhak mewajibkan hal ini harus dikabarkan?”
”Demi seonggok hati, seorang lelaki terkadang harus berurai airmata perih. Demi seonggok hati, seorang perempuan terkadang harus mengubur dalam-dalam sebuah impian. Demi seonggok hati, hukum dan tradisi seringkali harus ditafsir ulang lagi.”
”Demi seonggok hati, aku masih percaya, hidup ini cukup berarti tuk dijalani.”
”Bagaimana aku mampu mengutarakannya? Bagaimana aku mampu menjelaskannya? Bukankah hal ini memang bukan untuk diungkapkan? Bukankah hal ini memang bukan untuk dibicarakan? Setidaknya untuk saat ini. Mengingat penyingkapannya di luar mimpi dan imajinasi, hanya akan melukai jiwa-jiwa lain yang patut dikasihi. Lagi pula, otoritas mana yang berhak mewajibkan hal ini harus dikabarkan?”
”Demi seonggok hati, seorang lelaki terkadang harus berurai airmata perih. Demi seonggok hati, seorang perempuan terkadang harus mengubur dalam-dalam sebuah impian. Demi seonggok hati, hukum dan tradisi seringkali harus ditafsir ulang lagi.”
”Demi seonggok hati, aku masih percaya, hidup ini cukup berarti tuk dijalani.”