by Nyong ETIS

BERANDA   -    BILIK BACA   -    RUANG ISTIRAH   -    TELAGA SUNYI   -    NEGERI DI ATAS AWAN

Kutukan Cinta

Hari kian beranjak larut. Sesosok demit berambut gimbal terlihat sedang menikmati kerlap-kerlip bebintang di beranda sebuah rumah yang tak lagi dihuni manusia. Bersama imajinasi terliarnya yang mengembara ke ujung-ujung terjauh kemustahilan, pena di genggaman tangan kanannya mulai menorehkan tinta dalam lembar-lembar putih buku catatan harian di pangkuannya.
Sombrero, Demit Jantan Paling Brengsek, menulis:


Kawan, mengapa hidup ini masih saja menyebalkan? 

Bukankah jalan para Cyrenean dan Epicurean telah kususuri? Segala macam tantangan dan klangenan kulakoni tuk membuatku merasa hidup senang dan beruntung menjadi laki-laki? Bukankah telah kutempuh jalan para Cynicus dan Stoikus? Segala macam kehinaan dan kepapaan kucicipi tuk membuatku merasa hidup sejati dan paripurna sebagai makhluk fana yang mendamba keabadian surga?

Kawan, mengapa hidup ini masih saja menyebalkan?

Saat kupercaya bahwa luka masa lalu telah disembuhkan, ketidakberdayaan hari ini justru menyayatkan kepedihan yang tak kalah membuatku geram. Ya, kawan, ketidakberdayaan, bahasa terhalus yang mungkin bisa kutemukan untuk melukiskan kepecundanganku pada kenyataan. Ya, memang nama apa lagi yang lebih pantas untuk seorang lelaki yang tak tahu apa yang paling diinginkannya dalam hidup ini? Pecundang!

Herannya, ketika ia mulai menyadari apa yang selama ini ia cari, jiwanya yang terbiasa bertualang mendadak jadi banci menatap kelabunya masa depan. Terlampau banyak berdalih laiknya para politisi busuk. Memakai kebenaran untuk membuat kedustaan. Dusta itupun dusta yang paling menjijikkan: demi sejumput kepalsuan, kejujuran hati harus terkubur hidup-hidup di pusara yang terkelam. Lantas dimana itu suara para penyair? Yang lantang menyenandungkan fiksi untuk menyampaikan fakta? Yang begitu telanjang merangkai kata-kata dusta untuk mengungkap kebenaran yang terlampau tabu untuk dikatakan dengan logika orang biasa? Pengecut!

Kawan, mengapa hidup ini masih saja menyebalkan?

Jika saja hujan semusim sanggup memadamkan api geram yang menggelegak di tungku hati, sudah kucurahkan sisa airmata tuk menggenangi wajah tirusku ini, kawan. Tapi siapa peduli? Inilah kehidupan, komedi terbesar yang sempat kusaksikan. Maka biarkanlah aku kini tertawa, kawan. Seperti kata Sang Pembunuh Tuhan, begitu bosannya kita dengan kepedihan dan kesengsaraan, hingga kita terpaksa harus tertawa untuk membuatnya menjadi terasa indah dan lumrah menjalaninya. Kawan, tahukah engkau, seberapa menyebalkannya hidup ini?

Yang pasti kawan, lebih dari sebalnya seorang lelaki, ketika pulang ke rumah, kelelahan dan kepenatannya di tempat kerja, justru disambut dengan wajah masam dan padamnya senyuman di bibir seorang perempuan. Lebih dari sebalnya seorang lelaki, ketika masalah meruyak hampir lepas kendali, sang kekasih malah berasyik-masyuk dengan belahan hati. Lebih dari sebalnya seorang lelaki, ketika kesetiaan hati dipersembahkan, justru pengkhianatan yang ia dapatkan. Lebih dari sebalnya seorang lelaki, ketika tahu bahwa hidup ini menyebalkan, masih saja ia melata menjalaninya.

Kawan, tahukah engkau, mengapa hidup yang menyebalkan ini masih saja kujalani?

Hah! Pertanyaan inilah kawan yang paling sering muncul di benakku tiap kali mataku terjaga menemani kegelapan menyambut datangnya semburat merah di ufuk Timur sana. Dan saat aku berusaha menjawabi pertanyaan itu, bebalnya akalku selalu saja belum mampu menemukan alternatif rumusan yang berbeda dari jawaban hari-hari sebelumnya. 

Kawan, jawabannya ternyata adalah karena aku seekor demit terkutuk. Terkutuk, karena di hadapan Tuhan, aku sudah berani mengingkari kebenaran. Kejujuran dari sekeping hati. Dan saat kebenaran dan kejujuran itu teringkari, maka terkutuklah aku, kawan. Terkutuk! Kutukan yang sewaktu-waktu bisa menjelmakanku menjadi apapun yang melanggar batas-batas tabu. 

Kawan, mengapa hidup ini masih saja menyebalkan?
Sombrero mengangkat penanya. Buku catatan harian ditutupnya. Dan sebentar kemudian sosoknya sudah tak lagi kelihatan. Rumah tua itupun kembali lengang. Terdiam. Hanya plakat kusam di sisi kiri pintu gerbang yang setia menyampaikan pesan:

Mister Sombrero
Jl. Raya Cinta No. 9 Setengah Gila
Perum Bumi Sesat Fikir (BSF), Sidoarjo Bawah Tanah (SBT)