by Nyong ETIS

BERANDA   -    BILIK BACA   -    RUANG ISTIRAH   -    TELAGA SUNYI   -    NEGERI DI ATAS AWAN

Langit Cinta

“Bagaimana bisa?”
Perempuan yang terlihat makin cantik saat mengulum bibirnya itu bertanya. Cahaya matanya demikian jelas mengisyaratkan ketidakpercayaan. Serupa ketika seseorang sudah merasa bosan dijejali cerita-cerita bualan. Lelaki itu mendesah dalam hati. Ingin sekali ia menjawabi, namun tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Lagi pula, apa perlunya mengatakan sesuatu, yang sesuatu itu bila dikatakan, tidak akan dipercaya sebagai kebenaran.

Lumrah. Manusia acapkali memang menuntut kejelasan dan kepastian. Sesuatu yang terlanjur dianggap lebih menenangkan hati dan pikiran dalam menjalani gelap-terangnya kenyataan. Tapi inilah kehidupan, begitu banyak keganjilan yang selalu saja memantik keraguan. Bahkan tak jarang, menyudutkan seseorang pada keyakinan atas kemustahilan.

”Aurora, pernahkah terbetik di benakmu, bahwa langit itu berwarna ungu? Seumur hidup, ketika hari cerah, langit itu selalu saja tampak biru di mataku. Tapi imajinasi terliarku selalu juga sanggup meyakinkan bahwa di ujung terjauh alam raya ini, di sebuah planet mungil yang tak bernama, tidaklah mustahil, bahkan sangat mungkin, langit di sana justru berwarna ungu, hijau, putih, atau bahkan merah. Hanya saja, kita tak memiliki sayap untuk menjangkaunya. Andaikan bisa, kurasa engkaupun akan ingin sepertiku, terbang kesana untuk menjadi penyaksi pertama ‘kemustahilan’ itu tersingkap burdahnya.”

“Aurora, di jalan kemungkinan itulah kupijakkan kaki ini tuk melangkah. Karena kutahu, selama bukan kemustahilan, tiap langkah yang kuayunkan masih akan memiliki makna. Meski entah akan berujung dimana perjalanan ini pada akhirnya, tapi kupercaya, bahwa harapan adalah alasan yang cukup manusiawi untuk memilih tetap bertahan hidup, mensyukuri kenyataan dan menghadapi absurditas masa depan.”

”Aurora, aku selalu terkesan pada orang-orang yang dalam hidupnya terpanggil untuk mengabadikan keindahan. Entah melalui puisi, prosa, graviti, sketsa, foto, lukisan, ataupun karya estetik lainnya. Aku melihat mereka sebagai manusia yang diberkahi kemampuan untuk melipat jarak, ruang, dan waktu. Melalui mereka, masa depan hadir menemani mimpi-mimpi hari ini. Melalui mereka, masa lalu hidup kembali menghangati desah nafas hari ini. Kata, titik, goresan, bentuk, warna, cahaya, bukanlah semata penggalan-penggalan masa lalu atau abstraksi-abstraksi iluminatif masa depan yang dipaksakan agar mampu melampaui partikularitas dan profanitas eksistensi kehidupan. Tapi semua itu sesungguhnya tidak lain adalah hasrat paling subtil dari manusia untuk melawan takdirnya. Bukan dengan kebencian dan kengerian, melainkan dengan cinta dan kasih sayang. Tanpanya, niscaya keindahan itu akan hilang di rentangan jarak, menguap saat membentur dinding ruang, serta tenggelam dalam hempasan waktu."

"Aurora, bagaimana bisa? Hmm, ternyata bisa. Yaitu ketika seseorang sudah terlanjur terkutuk oleh cinta. Baginya, ruang, jarak, dan waktu bisa terlipat dalam bingkai harapan menjadi sebuah sketsa atau lukisan keindahan yang menemaninya bernafas dan menyecap manis-getirnya kenyataan dengan senyuman." "Oh iya, Aurora, kuberitahu engkau sebuah rahasia. Bagi manusia yang terkutuk oleh cinta, kutukan bisa jadi adalah anugerah dan berkah yang selalu disyukuri dan tak pernah disesalinya. Untuk yang satu ini, kumohon, jangan lagi bertanya 'bagaimana bisa'."