kemarau itu basah sudah akhirnya
saat sebuah senyum penuh makna hadir di depan mata
terima kasih, kausambut sapaku ini dengan jabat tangan terbuka
meski kutahu, hadirku kini pun takkan memberi arti
sebagaimana pula di lipatan hari-hari yang kita kenali
ukhti, syukurmu adalah syukurku sepenuh hati
walau perjalanan masa mustahil surut melangkah
seperti jejak yang terlanjur membenam dalam di relung jiwa
siapa yang kuasa menghapusnya?
jika bukan Yusuf yang pantas dikasihi
lantas siapa yang berhak melarangku menjadi Ya’qub sang penyaksi?
dengan lentera hati yang tak lekang menyalakan api
pilihan mencintai justru keindahan yang tak tertandingi