Sepasang kekasih tengah duduk berhadapan di bawah naungan sebuah pohon Avatar yang rindang. Hanya batu pualam pipih berwarna kelabu yang difungsikan sebagai meja memisahkan antara keduanya.
“Orion, kau lihat bintang-bintang yang bertebaran di langit sana?”
Perempuan itu mengangguk.
”Aku selalu berpikir, di antara milyaran benda langit, mengapa bumi? Mungkin karena Tuhan tahu bahwa inilah tempat yang terbaik untuk manusia menjalani takdir kefanaannya. Demikian juga denganku, tahukah engkau betapa besar inginku untuk tetap tinggal di sini mendampingi hari-harimu? Tapi aku insyaf, Orion, keegoisanku ini bisa membunuh, tidak saja diriku, tapi juga dirimu."
Silhuet bening mengembun di manik mata perempuan itu. Seperti tak kuasa melihatnya, lelaki itu menangkupkan kedua telapak tangannya ke wajahnya.
***
Dan kini, sudah hampir lima belas menit mereka saling diam. Hanya tatapan mata mereka yang sekarang saling bertaut, menyelami kedalaman sukma masing-masing. Tanpa kata. Tanpa suara. Hingga akhirnya lelaki itu angkat bicara,
"Orion, kupikir sudah waktunya."
Perempuan ini perlahan menganggukkan kepalanya.
"Kupikir juga demikian, Sombrero."
Lelaki itu lantas bangkit dari duduknya bersama sebuah helaan nafas nan dalam. Langkah-langkah kecil mulai mengiringi sosok itu menjauh dari bayangan pepohonan. Ketika langkahnya tiba di balik sebuah arca, lelaki itu berhenti. Seraya menengadahkan wajah, cahya bintang tampak berkilau di titik-titik bening yang membasah di kedua pipinya.
"Tuhan, di altar cinta-Mu ini, dimana Adam dan Hawa Kautakdirkan terdampar menghabiskan hari-hari kefanaannya. Hari ini, aku, sebutir debu kosmik yang juga Kautakdirkan menyecap indahnya kefanaan, berpasrah hidup di jalan-Mu sebagai pemuja yang setia. Tuhan, kumohon, dengan keikhlasan ini, di kefanaan dan keabadian, ijinkanlah kami bahagia, ijinkanlah kami bahagia, ijinkanlah kami bahagia, untuk sesuatu dan dengan cara-Mu yang hati kami hanya mampu membisikkannya."