"Dalam kebersamaan kita sekian tahun ini, apalah arti satu hari?"
Lelaki yang duduk di depannya diam membisu. Sepasang matanya yang semula lurus menatap kedua manik mata perempuan itu perlahan luruh. Lalu memejam. Sebuah helaan nafas dalam terdengar lirih, seperti rintihan dari mimpi-mimpi yang teraborsi. Sela beberapa saat, lelaki itu angkat bicara.
"Kuakui, aku memang picik. Sempit pandang. Tak pernah berpikir jauh. Aku memang bukan mereka yang memandang satu hari tak lebih dari seserpih debu kosmik di belantara galaksi semesta raya ini. Aku hanya seseorang yang begitu tak rela, bahwa ribuan hari yang telah berlalu dalam kebersamaan kita itu, membunuhi arti dan keindahan hari yang sedang kita cecap saat ini.Jika orang lain bisa memicingkan mata pada ketidakbernilaian satu hari karena ribuan hari yang telah mereka jalani; aku justru berpandangan sebaliknya. Aku bisa menemukan kebernilaian ribuan hari yang telah berlalu itu, karena hari ini, aku masih bisa menemukan arti, menemukan keindahan hidup, bersamamu. Jika orang lain demi alasan ribuan hari, satu hari mereka menjadi kurang berarti, aku justru sebaliknya; demi alasan satu hari, ribuan hari bisa kusyukuri sebagai berkah yang tak patut dicaci-maki. Jadi, kalau hari ini engkau bertanya apa arti satu hari, kuberitahu, satu hari itu bisa berarti segala-segalanya dalam kebersamaan ini.Karena di sanalah cinta itu hidup. Bersama helaan nafas kita. Bersama degup jantung kita. Bersama denyut nadi darah kita. Bersama sentuhan kebersamaan kita. Maka jika satu hari ini bagimu tak lagi berarti, aku takut, saat aku tak sanggup lagi merasakan helaan, degup, denyut, dan sentuhan kebersamaan itu, cinta ikut senyap dan lenyap bersamanya."