by Nyong ETIS

BERANDA   -    BILIK BACA   -    RUANG ISTIRAH   -    TELAGA SUNYI   -    NEGERI DI ATAS AWAN

Tak Tergantikan

Genderuwo itu masih saja tertawa.
"Apa yang kautertawakan, kawan? Panas kupingku ini mendengarnya," ujar Banaspasti jomblo yang duduk di sebelahnya.
"Aku menertawai diriku sendiri Ban."
"Memang apa lucunya makhluk jelek seperti kamu ini Gen?"
"Aku tertawa karena mengira akan bisa menjalani sisa hidupku yang brengsek ini dengan sedikit menyecap kebahagiaan Ban."
"Hmm, apa kau sedang bicara tentang Kuntilanak pujaan hatimu itu?"
Genderuwo itu mengangguk.
"Kenapa dia?"

Genderuwo itupun mulai berkisah,

"Kau tahu kan Ban, aku terlahir dengan kemampuan membaca perasaan meski hanya melalui manik mata seseorang. Dari situ kutahu dan kusadari sepenuhnya Ban, betapa dia sangat mencintainya. Meski sampai detik ini aku hanya bisa menebak-nebak, siapa siluman jantan beruntung itu.

Jadi, biarpun seribu puisi kukidungkan. Seribu lagu kusenandungkan. Cintaku ini takkan pernah sanggup memenangkan hatinya seutuhnya. Bahkan seandainya kamipun menikah nantinya, aku hampir yakin, lelaki itu senantiasa akan mengisi sebagian besar relung-relung hatinya. Dan ketika itu benar-benar terjadi, aku tak sanggup membayangkan Ban, betapa akan cemburunya aku, betapa akan terlukanya aku. 

Saat kucium pipinya dan lelaki itu yang justru tersenyum di hatinya. Saat kurengkuh tubuhnya dan lelaki itu yang justru tertawa di hatinya. Dan saat kami menyatu, lelaki itu yang justru mendesah di hatinya. Jika saja ini sebuah pertandingan Ban, sejak awal hasilnya sudah bisa ditentukan, akulah sang pecundang itu."

"Trus maumu apa Gen?"
"Apa mauku? Saat ini, jujur saja, tak ada yang paling kuinginkan dalam hidup di dunia lelembut ini melebihi inginku menjadi lelaki itu. Seorang yang sanggup memahatkan namanya di kedalaman sukmanya. Begitu dalamnya. Betapa tidak, saat aku ada di sisinya pun, kusaksikan bayangan lelaki itu berkelebatan menari-nari di kedua manik hitam matanya. Sungguh Ban, hanya cinta tulus yang bisa melakukan hal semacam itu. Cinta yang tak tergantikan."
Banaspati manggut-manggut mendengarnya.
"Kalo begitu, bersyukurlah."
"Maksudmu?" ganti Genderuwo itu bertanya.
Banaspati sekarang justru yang tertawa.
"Ban, maksudmu apa?"
"Apa kau tak sadar Gen, Tuhan pasti juga tertawa mendengar kisahmu itu. Dasar memang kau ini ditakdirkan jadi lelembut sial."
"Sialan!"
Banaspati kian terpingkal-pingkal.