Saat kukatakan:
“Apa yang kita lakukan sangatlah menggelikan. Seolah tak malu jika usia sudah berkepala tiga, masih saja kita bicara soal cinta laiknya para remaja.”
Sombrero, engkau justru nyaring bertanya:
“Apa salahnya? Adakah hukum yang melarangnya? Apa jeleknya? Adakah etika yang mencelanya? Apa buruknya? Adakah patron estetik yang menumpah-serapahinya?”
Dan kaupun menodai kembali halaman blogmu dengan coretan baru yang mengusikku:
“Uru Anna, tidakkah kausaksikan rasi kalajengking di temaram langit sana? Bisakah kaubayangkan, betapa setianya ia menjadi cahaya dan keindahan di gelapnya kehidupan. Bukan lagi hitungan hari, bulan, tahun, atau abad, tapi milennium yang pasti sukar dihitung dan dikirakan. Uru Anna, sekarang lihatlah diri ini, sudah cukup tuakah kita? Atau justru sebaliknya, kita masih terlampau muda untuk harus memutuskan berhenti membaca atau bicara soal cinta.Sementara yang kupercaya, tiada satupun kekuatan yang sanggup menggoda bintang-bintang itu untuk terus berpijar atau terus mengapung di awang-awang tanpa tiang yang menopang, kecuali hanya cinta. Kekuatan yang menjadi nadi kehidupan. Kekuatan yang menjadi jantung keabadian. Kekuatan yang mengikat dan mempersatukan, bahwa di jagad raya ini, kita sejatinya tak pernah terpisahkan. Maka Uru Anna, pada hukum apa hatimu itu kautambatkan? Pada rumus etika apa hatimu itu kautundukkan? Dan pada patron estetik apa hatimu itu kautitipkan?Uru Anna, aku yakin, bahwa hidup kita takkan berakhir di kefanaan dunia ini. Sekali mengada, kita akan mengabadi. Entah di kubangan lumpur Jahannam atau di taman anggrek Firdausi akhirnya nanti, langkah kita takkan berhenti meski ajal menghampiri.Uru Anna, sudah cukup tuakah kita untuk masih bicara soal cinta? Sudah begitu luas dan dalamnyakah pengetahuan kita hingga pantas merasa bijak dan malu untuk bicara lagi soal cinta?”