“Gadis sembilan belas tahun biasanya bergairah karena menjadi obyek, bukan karena menjadi subyek.” (h.4)
“Setiap orang memiliki bagian sensitif yang tak perlu kita orak.” (h.13)
“Iman, seperti cinta, bekerja dengan keterbatasan. Tapi sains, seperti logika, bekerja dengan batasan-batasan.” (h.16)
“Jika kebetulan-kebetulan terjadi terlalu
banyak dan cocok satu sama lain, apakah kita tetap percaya bahwa itu
adalah serangkaian kebetulan belaka?” (h.18) “Jika itu terjadi, seorang
ilmuwan akan mencari pola-pola. Dan seorang beriman akan mencari rencana
Tuhan.” (h.19)
“Orang Jawa sekarang sudah menjadi orang Indonesia yang kering!” (h.21)
“Seorang ilmuwan dikutuk untuk selalu meragukan segala hal.” (h.21)
“Ajaib, bisa jadi, adalah cara menamatkan proses berpikir.” (h.23)
“Di Barat, para ilmuwan melakukan
penelitian ilmiah untuk menguji sebuah mitos. Di sini, sebaliknya. Orang
Jawa bukan menguji, melainkan mencari pembenaran untuk apa yang mereka
percaya.” (h.30)
“Ia barangkali nakal dan berani, tapi ia bukan pengkhianat.” (h.45)
“Saya seorang saintis, tapi saya tidak keberatan untuk menambahkan sopan santun dalam proses penelitian.” (h. 46)
“Kau tahu, jika suatu hubungan telah
dalam, terkadang manusia menjadi peka untuk merasakan perubahan hati
pasangannya, sekalipun berada di tempat jauh.” (h.48)
“Ada pria yang menikah, meninggalkan
pelbagai kesenangan pribadi dan menjadi suami yang baik. Ada suami yang
tidak bertanggung jawab. Ada pula pria yang memperlakukan istri dengan
lemah lembut namun menuntaskan fantasi liar mereka pada pelacur. Lelaki
amfibi, lelaki yang hidup di dua dunia.” (h.57)
“Apa yang bisa dilakukan manusia dan tidak bisa dilakukan jin?” (Mendongeng) (h.94)
“Manusia takut pada yang dekat.” (h.95)
“Tak ada makan malam yang gratis.” (h.103)
“Pada saat-saat cinta yang dalam, manusia
tak lagi memiliki tuntutan. Pada saat-saat cinta yang hebat, manusia
hanya ingin melebur.” (h.105)
“Perempuan, kau tahu, akan mengunci mulut jika mereka ngambek.” (h.107)
“Ada di dunia ini yang tak bisa diberi
nilai, seperti ada di dunia ini yang tak bisa dibicarakan. Dan inilah
tabu: sesuatu yang tak bisa kau bicarakan, sebab jika kau
membicarakannya niscaya kau merusak maknanya.” (h.111)
“Jika kita tidak menemukan, kita tak bisa
mengatakan bahwa sesuatu adalah tidak ada. Jika kita belum menemukan,
maka kita belum menemukannya. Begitu saja.” (h.118)
“Memisahkan dunia gaib dan dunia nyata
sama sulitnya dengan memisahkan hati dan kepala. Hanya dengan mengakui
bahwa dua-duanya ada maka kita bisa memisahkannya. Lalu, hanya dengan
memisahkannya maka kita bisa mencari keseimbangan di antara keduanya.”
(h.130)
“Ketakutan, kau tahu, segera menjelma kebencian.” (h.137)
“Ketika lelaki memusuhi perempuan, maka kebencian mereka menjadi seksual.” (h.148)
“Marja takut jika kedalaman itu hilang dan menjelma satu saja lapisan makna … misteri menjelma hanya birahi.” (h.154)
“Ini bangsa konsumtif, bukan bangsa produktif.” (h.159)
“Kebodohan terlalu sering disebabkan oleh kemiskinan.” (h.166)
“Bagus adalah persoalan estetika. Tapi
menarik adalah persoalan studi kebudayaan. Tidak selalu lebih bagus.
Tapi selalu menarik.” (h.179)
“Bahagia lebih penting daripada diperkaya.” (h.183)
“Cemburu itu memurubkan birahi.” (h.198)
“Misteri adalah sesuatu yang jawabannya
tak akan pernah kau capai dalam hidup ini. Teka-teki adalah sesuatu yang
jawabannya ada dalam hidup ini.” (h.201)
“Kita mungkin tidak punya kemampuan untuk mengampuni. Yang bisa kita lakukan adalah berdamai.” (h.206)
“Setiap kita punya sisi gelap, Marja …” (h.206)
“Suhubudi … bagaikan seseorang yang telah
menemukan. Sedangkan Parangjati adalah pemuda yang mencari. Suhubudi
adalah orang yang memberi jawaban. Parang Jati pemuda yang mengajukan
pertanyaan.” (h.208)
“Keduanya pemuda yang selalu mengajukan
gugatan. Tapi Parang Jati menggugat dengan rasa hormat, Yuda menggugat
sebab ia suka melawan. Yuda adalah seorang yang sinis. Parang Jati
adalah seorang yang kritis.” (h.208-9)
“Ada banyak hal lain pada manusia yang membuat kita mampu menyimpan syahwat di tempat yang baik, di balik rerusuk.” (h.210)
“Hanya dengan adanya sistem alternatif,
sistem yang lain, maka kita bisa tahu bahwa sistem yang pertama bukanlah
satu-satunya kebenaran.” (h.216)
“Momen sunyi barangkali membuat kita mengalami kembali dunia tanpa jarak. Sebuah cara lain mengerti dunia.” (h.218)
“Ia ingin menjadi dewasa, tanpa
kehilangan ketulusan kanak-kanak. Betapa tidak mudah untuk menjadi
seimbang. Betapa tak gampang merawat kemampuan yang berbeda
bersama-sama.” (h.230)
“Ia hanya orang biasa yang, kalau bisa, ingin berbuat baik pada orang lain.” (h.247)