Seperti yang pernah terjadi sebelumnya, hari itu mereka berjumpa kembali di bawah pohon Avatar. Berhadapan dan saling memandang. Sesekali kaki keduanya bersentuhan dan menggapit satu sama lain tuk isyaratkan kedekatan. Atau lebih tepatnya, katakanlah, suatu ikatan. Namun berbeda dari peristiwa yang lalu, kali ini keduanya tampak jauh lebih dewasa. Dan kenyataannya memang mereka sudah dewasa dilihat dari usianya. Mereka bukan lagi remaja. Tetapi apa yang sempat terjadi selama waktu di antara dua pertemuan itu rupanya mulai menyadarkan mereka kalo sudah sering bertingkah layaknya sepasang remaja yang tengah dimabuk asmara. Anehnya, keduanya sepertinya mensyukuri dan sangat menikmati hal ini.
"Mengapa dari tadi kau hanya senyam-senyum saja, Sombrero?"
Perempuan itu mencoba memecah kebisuan yang ada.
"Berceritalah apa saja, gantian, kan aku tadi sudah cerita banyak."
Lelaki itu kini malah tertawa.
"Memang apa yang perlu kuceritakan padamu, Uru Anna? Di hadapanmu, aku ini sudah telanjang bulat. Atau bahkan aku ini sudah seperti gelas kaca yang berisi sirup berwarna merah. Luar dalam kau sudah mengenalinya. Kau tahu ujud ringkihku ini sebagaimana kau juga tahu mimpi-mimpi yang di kepala dan dadaku ini selalu menari-nari."
Sombrero sejenak meneguk minuman soda di meja pualam yang memisahkannya dari Uru Anna.
"Bukankah kita sama tahu, jika hari ini kita sepakati sebagai yang terakhir kali. Maka berlebihankah jika aku hanya ingin menghabiskan sedikit waktu yang kita punya ini untuk memandangi keindahanmu?"
Uru Anna menggeleng pelan. Senyum tipis tercipta di bibirnya bersama desis suara sunyi yang bisa dibaca Sombrero sebagai, "Tidak." Jawaban itu mengkonfirmasi apa yang memang ingin didengar Sombrero dari mulut Uru Anna.
Jilatan mata Sombrero merambahi detil-detil wajah Uru Anna yang selalu saja sedap dirasakan olehnya. Dan yang terindah, saat ia tercebur kembali di kedalaman sepasang telaga jernih perempuan itu yang tlah mengisi mimpi-mimpinya sebagai lelaki dan imajinasinya sebagai kekasih. Kali ini, hati Sombrero manjadi begitu berbunga-bunga saat mendapati cahaya yang berpendar di wajah dan bersinar di mata Uru Anna sangatlah istimewa.
"Sungguh, kau sekarang terlihat demikian tenang, Uru Anna. Tak kulihat lagi riak-riak keruh yang sempat kudapati di waktu lampau. Hmm, bahagiamu tentu adalah bahagiaku, Uru Anna. Hari ini, momen ini, pasti akan terekam rapi di belahan kanan otak yang kumiliki. Meski kutahu, ironinya, justru ini terjadi karena kita memilih untuk memenangkan otak kiri agar kita tunduk pasrah pada norma dan etika hidup umumnya manusia. Kita memilih memenangkan iman untuk suatu pengharapan pada kemungkinan baik di masa depan dengan cara mengebiri suatu keinginan duniawi yang sangat manusiawi untuk mencecap indahnya hidup ini."
Lanjutan kalimat Sombrero hanya bisa dilanjutkan di ruang sunyi pikirannya sendiri,
"Entah siapa kita sebenarnya, Uru Anna, pemuja Tuhan yang begitu setia, atau hanya sepasang masokis yang begitu ketagihan pada nikmatnya menyakiti dan menyiksa diri sendiri. Manakah yang sejatinya ketaatan dan manakah yang kemunafikan. Hmm, ini mungkin kutukan lain dunia para pembunuh-kemustahilan."
"Aku tahu ini yang terakhir kali, Sombrero,"
Uru Anna berkata seraya mereguk air mineral di genggamannya.
"Tapi maafkan aku karena tak bisa menemanimu menyaksikan indahnya visualisasi matahari tenggelam senja ini. Gimana lagi, aku terikat janji untuk sudah harus ada di rumah kembali sebelum itu."
Sombrero mengamini dengan anggukannya.
"Oke, tampaknya kita sudah sama tahu harus bagaimana menjalani sisa-sisa hidup ini."
Mereka berdua bersalaman, saling memandang sesaat, berbalas senyum dan ... ternyata cukup di situ. Dalam hati Sombrero meraung guruh,
"Mana ada ceritanya, manusia bisa berjanji menggigit serigala? Mimpi saja kau, Sombrero!"
Keduanya kemudian bergerak saling menjauh.
Saat jarak mulai menampak, keduanya kembali saling berpandangan. Uru Anna melambaikan tangan beserta jemarinya. Seolah ia ingin teriak,
"Bye bye Sombrero!"
Sementara Sombrero sendiri mengepalkan tapak tangannya, lalu menepuk-nepukkan kepalan itu ke dadanya berulang kali. Lagi-lagi dalam hati, Sombrero kini berteriak coba menyahuti,
"Genggamlah cinta itu Uru Anna! Genggamlah! Genggamlah! Cinta yang tak tergantikan! Cinta yang tak tergantikan! Cinta yang tak tergantikan! Temanilah ia menyaksikan indahnya visualisasi senja ini! Sisihkanlah keraguan yang sempat menjarah hati! Temukanlah bahagiamu di sisinya! Pijahlah kedamaian hidupmu dalam rengkuhan kehangatannya!"
Dan perpisahan itupun terulang kembali. Bedanya, Sombrero yang harus menandai putusan kali ini. Langkah yang selama ini selalu saja ia hindari. Selalu ia hindari. Karena sekali serigala bersumpah, Sombrero tahu, ia takkan mencabut kata-katanya. Belasan tahun sudah menjadi gurunya soal ini. Dalam surat terakhir yang diberikannya kepada Uru Anna sebelum berpisah, Sombrero mentahbiskan:
“... atas nama cinta, aku harus menahan diri untuk tak menemuimu lagi, sebagai lelaki sekaligus kekasih hati ... kupinta perkenanmu untuk bisa memahami jika aku harus menepi dari hari-hari yang akan kaujalani ... semoga segala kebaikan senantiasa menyertai langkah-langkahmu, Uru Anna ... duhai Tuhan, semua telah kupasrahkan pada-Mu ...”
Dan hari-haripun melaju. Begitu perlahan. Sangat perlahan. Ya, sangat perlahan. Bahkan begitu perlahannya hingga serigala-pun bisa berubah jadi super malas.
Meski di luang waktunya, Sombrero masih juga menyempatkan diri menjenguk senja. Menyaksikan visualisasi tenggelamnya matahari. Sendiri. Takdir yang sedari awal ia tahu bakal ia jalani kembali di sisa hidupnya ini, meski dalam hati begitu tak ia kehendaki benar-benar akan terjadi. Tapi ketika kenyataan itu datang, Sombrero akhirnya hanya bisa pasrah,
"Tuhan, tertawalah sesuka-Mu!"
Dan Tuhan tampaknya benar-benar ingin tertawa dengan kehidupan Sombrero, badut lusuh-Nya yang gemar kisah komedi cinta ini. Hahahahaha! Maka 'hadirlah' Maitri mengorak sepinya hari. Melemparkan Sombrero menemukan kembali semangat dunia 'kebinatangannya', dunia 'hipokrisi'. Dunia dimana hati masih memiliki haknya untuk hidup merdeka, tak terpasung oleh sangkar-sangkar 'hukum' dunia manusia.
Entah ini akan dibaca Sombrero dengan kacamata ilmuwan atau agamawan. Kata Jacques Cherer, iman itu seperti cinta, ia bekerja dengan ketidakterbatasannya. Sedangkan sains seperti logika, ia bekerja dengan batasan-batasannya. Dan jika sesuatu yang istimewa terjadi, orang beriman akan menyebutnya sebagai 'rencana gaib' atau 'rencana ilahi'. Tetapi orang yang tak percaya, akan lebih suka menyebutnya sekedar 'kebetulan' semata. Namun seperti Manjali, Sombrero sementara ini lebih suka mengatakan,
"Ajaib saja! Ketawa Tuhan kali ini bisa bikin geregetan!"
Menariknya, meski mungkin hanya akan sekali saja terjadi, indahnya visualisasi matahari tenggelam di senja hari sempat dinikmatinya kembali bersama Maitri yang berkenan menemani. Meski tanpa gigitan, hanya senyum dan sesekali tertawa. Dan tentu saja, masih terlalu pagi bicara soal 'rasa'.
Sangat mungkin, ini tak lebih hanya sekedar halusinasi atau delusi dari pikiran dan perasaan Sombrero sendiri yang letih. Ketika melihat Maitri, Sombrero seperti menyaksikan visualisasi momental hadirnya sosok 'serigala betina' yang ayu dan bertaring tajam. Padahal bisa jadi deskripsi kenyataannya, justru Maitri hanya imajinasi kriminal yang diproyeksikan secara lancang pada sosok seorang perempuan lajang yang 'lugu' dan jauh dari 'kegilaan'. Meski dalam hati, Sombrero tak memungkiri ada kelebat hasrat, mungkin saja ini narasi cerita baru yang akan mengisi keliaran imajinasi dan mimpi-mimpi yang siap menanti.
*) Jacques Cherer, karakter dalam Manjali dan Cakrabirawa karya Ayu Utami.