tentang kekasih kita, Indonesia
sebuah bangsa yang seharusnya sudah merdeka
dengan negara yang seharusnya sudah tertata
dengan pemerintahan yang harus setia melayaninya
karena hari ini, bukan lagi satu hari di tahun 1945
kawan, kepadaku engkau bertanya
apakah kita ini bangsa yang sudah tercerabut dari akar sejarahnya?
hingga kita lupa bahwa penjajahan itu ancaman yang bisa bermetamorfosa
menjadi apa saja
menjadi siapa saja
di mana saja
dan kapan saja
karena ia bukan nama bangsa
bukan nama negara
bukan juga nama pemerintahan apapun bentuknya
tapi ia adalah sifat yang mengkhianati kemanusiaan kita
maka katamu, bisa saja hari ini, Londo Indonesia
berperilaku lebih kejam dari Londo Eropa
maaf kawan, tanyamu belum bisa kujawabi
kecuali hanya turut berbagi sebuah imajinasi
bahwa hari ini adalah hari
di mana seharusnya kita bisa menjadi saksi
dengan mata kepala kita sendiri
...
Sukarno berdiri di hadapan mata dunia
dengan raut wajah penuh kebanggaan ia berkata
: lihatlah Indonesia
inilah cermin bangsa merdeka
berdaulat politiknya
berdikari ekonominya
berkarakter budayanya
Hatta berdiri di hadapan mata dunia
dengan raut wajah penuh kebanggaan ia berkata
: lihatlah Indonesia
inilah cermin bangsa merdeka
di antara bangsa-bangsa dunia ia ambil jalan wasatiyah
bebas aktif, tak menjadi budak pun tak memperbudak bangsa lainnya
karena rakyat Indonesia bukanlah para pengemis, bukan peminta-minta
tapi mereka adalah pekerja dan pejuang yang memiliki marwah
ber-ta'awun untuk bisa raih dan nikmati kesejahteraan bersama-sama
Ki Hadjar Dewantara berdiri di hadapan mata dunia
dengan raut wajah penuh kebanggaan ia berkata
: lihatlah Indonesia
inilah cermin bangsa merdeka
yang terlahir dari pendidikan yang memerdekakan manusia
yang melaras secara tata-tentrem antara jiwa dan raga
momong, among, dan ngemong
sehingga merdeka fikirannya
merdeka batinnya
merdeka tenaganya
Tan Malaka berdiri di hadapan mata dunia
dengan raut wajah penuh kebanggaan ia berkata
: lihatlah Indonesia
inilah cermin bangsa merdeka
yang telah tuntas belajar sejarah
bukan hanya sebagai deretan peristiwa dengan tanggal dan nama-nama
tetapi sebagai metode berfikir yang tidak mekanis polanya
bekerja dengan menubuhi realita
tak terpasung oleh dialektika dan logika mistika
Sudirman berdiri di hadapan mata dunia
dengan raut wajah penuh kebanggaan ia berkata
: lihatlah Indonesia
inilah cermin bangsa merdeka
rakyatnya adalah para ksatria
siap berkorban demi memperjuangkan kehormatannya
takkan rela tunduk menjadi antek-antek bangsa lainnya
meski harta, darah, bahkan nyawa sebagai taruhannya
Buya Hamka berdiri di hadapan mata dunia
dengan raut wajah penuh kebanggaan ia berkata
: lihatlah Indonesia
inilah cermin bangsa merdeka
bangsa yang ikhlas menjadi dirinya
jujur dengan identitasnya
meski berbeda-beda, tapi dendam sama sekali bukan jalan hidupnya
di tengah keragaman, yang ada hanya rahmah
karena baginya, ridha Tuhan hadir dalam cinta kepada sesama
ya kawan, inilah hari di mana aku membayangkan
kita sudah bisa menyaksikan wajah Sukarno dan Hatta,
Ki Hadjar Dewantara dan Tan Malaka,
Sudirman dan Buya Hamka
tersenyum bangga di kibaran Indonesia Raya
tapi entahlah, mungkin benar apa yang engkau katakan, kawan
sepertinya memang ada yang salah dengan kita
karena yang kudapati justru airmata kecewa di wajah mereka
seolah ada cita-cita yang telah dikhianati oleh anak-anaknya
kawan, cukuplah, jangan lagi engkau bertanya
: sudah sedemikian bebalnya-kah kita sebagai sebuah bangsa?
belajar politik, tapi gagal berdaulat
belajar ekonomi, tapi tak bisa berdikari
belajar budaya, tapi lupa jati dirinya
belajar sejarah, tapi berkali-kali mengulangi kesalahan yang sama
belajar filsafat, tapi miskin hikmat dan juga siasat
belajar agama, tapi hilang adab dan akhlakul-karimah
cukuplah, cukup kawan, untuk hari ini
kita menjadi saksi dengan mata kepala kita sendiri
bahwa Sukarno dan Hatta,
Ki Hadjar Dewantara dan Tan Malaka,
Sudirman dan Buya Hamka
masih menagih janji-janji kita
untuk bisa membuat mereka bangga
menjadi Indonesia
Sidoarjo, 28/4/2020