by Nyong ETIS

BERANDA   -    BILIK BACA   -    RUANG ISTIRAH   -    TELAGA SUNYI   -    NEGERI DI ATAS AWAN

MEMELUK BAYANGAN

pada pergantian hari, kenangan itu kembali
seperti nyeri di pergelangan kaki yang tergari
meski tanpa ada balok atau besi bertemali
namun peziarah mengerti pasti, langkah itu memang terhenti

: apa yang kaucari?
pertanyaan usang dari kawan yang mulai risih
menyaksikan kesendirian seorang lelaki
perlahan-lahan merapuhkan hidupnya untuk kedua kali

: aku kini seolah tak mengenalimu lagi
ia mengingatkan pada jejak-jejak saat mendaki
pada pekik dan teriakan di jalan saat menyoal janji-janji
pada tulisan-tulisan gelap yang sengaja tak dinamai
memijah mimpi dengan kepongahan bak asa sepasang kekasih 

: hingga kapan engkau sembunyi?
ia menuding lelaki itu tak ubahnya telah mati
menyumpah-serapahi segala pendadaran yang serasa jadi basi
sampah sejarah yang tak layak baca apalagi diapresiasi

: apakah ceritamu berakhir di sini? begini?
peziarah masih memainkan buku-buku jemari
dengan pandangan ke titik-titik sepi
tak menjawabi
hanya membiarkan riuh menusuki seonggok hati 

kawan, tanyalah mereka yang sempat mengalami kehilangan
apa artinya kebersamaan
apa artinya kehangatan
apa artinya merasa tak pernah ditinggalkan
tentu bukan kepada lelaki-lelaki atau perempuan-perempuan
yang begitu fasih bicara kerinduan
sembari mendamba kehadiran liyan segera datang
walau gundukan tanah belum juga rata menggumamkan perpisahan

kawan, risaumu peziarah insyafi sebagai kenyataan
yang menyadarkannya pada keterbatasan
seperti Ivar Ragnarsson yang memberi pelajaran
bahwa untuk merangkak pun, dibutuhkan dua lengan
namun engkau sendiri begitu paham, kawan
sisa perjalanan ini bukan sekedar wisata kenikmatan

lihatlah sayap itu yang membantu elang menyapa awan
lihatlah batuan itu yang menemani ilalang memandang bintang
lihatlah api itu yang memeluk bayangan dalam menarikan keindahan

kawan, peziarah tak sedang mencari
pun tak ingin sembunyi
hanya menunggu malam beranjak pagi
untuk tetap berdiam diri
atau akan tergerak beranjak pergi

: ini pasrah atau putus asa?
peziarah memungkasi perjumpaan itu dengan tawa
bahwa dirinya lebih memilih percaya
dan berhenti untuk menjadi pongah
karena tiap daun yang jatuh ada tempatnya
tiap benih yang bertumbuh ada waktunya

Tuhan, terserah Engkaulah

Sidoarjo, 30/9/2021