di lembaran-lembaran usang catatan perjalananku
mungkinkah rasa itu masih bisa kusentuh?
sementara waktu seolah tak lagi berpihak padaku
membawamu menjauh dan kian jauh
di mana engkau akan bercermin duhai peziarah?
benggala sukma tlah keruh bahkan di bawah naungan cahaya
ketelanjanganmu tak lagi memendarkan aura cinta
kesunyianmu bukan lagi gelombang yang memekikkan puja
maka pada apa engkau akan bercermin duhai peziarah?
aku malu untuk kembali bertanya bagaimana
sebagaimana mengapa yang menjadikan bibirku kelu untuk mengucapkannya
Tuhan, seperti biasanya, di hadapan-Mu aku berpasrah
maka ajarilah sahaya-Mu ini agar bisa berkidung laksana senja
yang menyambut dan memeluk kegelapan dengan senyum terindahnya
karena tak meragukan janji malam untuk memperjumpakannya dengan rona surya
Tuhan, maka maafkanlah huruf-Mu ini yang Engkau izinkan terbaca penuh keterbatasan
jika masih saja memandang ketelanjangan sebagai persembahan
di altar-Mu yang harusnya selalu disucikan
demi melabuhkan keangkuhan agar menginsyafi kerapuhan
sebagaimana helaan nafas yang leram dalam pejam
pun desah tertahan yang senyap dalam perjumpaan dua pengakuan
karena di titik itulah kusaksikan ayunan wajah kehambaan demikian terang
seperti syukur yang terpana rasa kekaguman
saat keindahan menyibakkan burdah keagungan
pada bebukitan yang mengundang
pada hamparan pualam yang berembun penuh kehangatan
pada lereng-lereng licin di mana jemariku merayapi tepian demi tepian
pada ceruk tersembunyi yang menggamit sapa untuk menjamah
pada kedalaman yang menenggelamkan semesta cipta
Tuhan, kini tanpanya, masih aku
tanpa keraguan, pada-Mu, berpasrah utuh
Sidoarjo, 07/10/2019